Selasa, 15 Maret 2011

Teori Pers di Indonesia

oleh radhitgugii


Menganut teori apa Pers di Indonesia ?

Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.

Bagaimana dengan pers di Indonesia?

Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-politik yang kuat.

Pengertian pers di Indonesia sudah jelas sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai berikut:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masyarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.

Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.

Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh. Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa berubah ubah tergantung selera penguasa. Di era rezim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan dengan pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.

Jika dilihat situasi yang ada saat ini, pers tampaknya sudah mengindahkan rambu rambu yang tidak tertulis tersebut. Hal ini dapat dilihat dari begitu gencarnya pers menyoroti pembangunan yang mereka anggap gagal. Pers saat ini bahkan lebih terang terangan memberitakan kepada masyarakat luas keburukan keburukan pemerintah.

Menurut saya, jika dikaitkan dengan situasi saat ini, kita perlu merujuk kembali Teori Libertarian. Didalam teori ini kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Kebenaran bisa muncul dari hasil diskusi atau perdebatan antar argumen yang rasional. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.

Jadi menurut saya Pers di Indonesia tidak bergantung pada satu teori pers saja, tetapi dapat berubah sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini. Dimana Pers memegang peranan penting dalam arus informasi dan memiliki fungsi sebagai pendidik dengan informasi yang disorotinya. Tetapi semua itu kembali lagi kepada masyarakat dengan pola pikir seperti apa menanggapinya, dari sudut pandang yang bagaimana mereka memandangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar